Liat di sosmed
kayaknya lagi pada sibuk KKN nih. Wah jadi ingat satu tahun yang lalu, aku pun
sudah melewati masa-masa KKN itu. Waktu itu tema KKN aku keaksaraan fungsional
yang mana aku dan teman-teman kelompok KKN ku mengajarkan warga setempat untuk dapat
membaca, menulis, dan berhitung (calistung). KKN ini bisa dibilang
gampang-gampang susah soalnya mengajak warga usia produktif untuk “belajar”
bukan hal yang mudah, namun dibandingkan dengan tema KKN lain, tema ini lebih
terfokus. Banyak dari mereka belum memiliki kesadaran sendiri akan pentingnya memiliki
kemampuan membaca, menulias, dan berhitung.
Setelah melakukan perizinan kepada pemerintah setempat (Lurah, Kepala Desa, Kepala Dusun, dan Ketua-Ketua RT), minggu pertama yang kami lakukan adalah mencari warga yang belum memiliki kemampuan calistung dengan mendatangi rumah-rumah warga. Dari 10 orang, kami dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mendatangi rumah warga berdasarkan RT. Tak lupa kami memakai jas almamater untuk menunjukkan identitas kami, namun hal ini menjadikan kami memiliki “jarak” dengan warga dan terkesan kurang dekat. Bahkan ada beberapa warga yang menghindar masuk ke rumahnya saat kami akan menemuinya. Esok harinya kami memakai pakaian santai. Dengan demikian, kami lebih mudah menemui warga setempat.
Beberapa hari berlalu, kami menemukan banyak warga yang kami cari untuk mengikuti pembinaan keaksaraan. Suatu hari, kami berencana mengumpulkan warga yang bersangkutan untuk memberikan pengertian mengenai pembinaan keaksaraan, pengisian formulir warga belajar, pembagian kelompok belajar, dan tempat belajar. Namun pada saat itu hanya ada seorang warga yang datang. Dia seorang perempuan paruh baya yang memiliki semangat tinggi untuk mengikuti pembinaan keaksaraan. Dia menceritakan bahwa ada beberapa orang tetangganya yang ingin mengikuti pembinaan ini namun mereka merasa malu dan ada pula yang memiliki kesibukan yang tidak dapat mereka tinggalkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Melihat berbagai kendala tersebut, kami melakukan pendekatan dengan memberikan keluasan kepada warga untuk memilih waktu dan tempat belajar. Dengan cara tersebut dan ajakan dari seorang perempuan paruh baya tadi, kami mendapatkan satu kelompok belajar yang bertempat di rumahnya pada pukul 10 pagi.
Setelah melakukan perizinan kepada pemerintah setempat (Lurah, Kepala Desa, Kepala Dusun, dan Ketua-Ketua RT), minggu pertama yang kami lakukan adalah mencari warga yang belum memiliki kemampuan calistung dengan mendatangi rumah-rumah warga. Dari 10 orang, kami dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mendatangi rumah warga berdasarkan RT. Tak lupa kami memakai jas almamater untuk menunjukkan identitas kami, namun hal ini menjadikan kami memiliki “jarak” dengan warga dan terkesan kurang dekat. Bahkan ada beberapa warga yang menghindar masuk ke rumahnya saat kami akan menemuinya. Esok harinya kami memakai pakaian santai. Dengan demikian, kami lebih mudah menemui warga setempat.
Beberapa hari berlalu, kami menemukan banyak warga yang kami cari untuk mengikuti pembinaan keaksaraan. Suatu hari, kami berencana mengumpulkan warga yang bersangkutan untuk memberikan pengertian mengenai pembinaan keaksaraan, pengisian formulir warga belajar, pembagian kelompok belajar, dan tempat belajar. Namun pada saat itu hanya ada seorang warga yang datang. Dia seorang perempuan paruh baya yang memiliki semangat tinggi untuk mengikuti pembinaan keaksaraan. Dia menceritakan bahwa ada beberapa orang tetangganya yang ingin mengikuti pembinaan ini namun mereka merasa malu dan ada pula yang memiliki kesibukan yang tidak dapat mereka tinggalkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Melihat berbagai kendala tersebut, kami melakukan pendekatan dengan memberikan keluasan kepada warga untuk memilih waktu dan tempat belajar. Dengan cara tersebut dan ajakan dari seorang perempuan paruh baya tadi, kami mendapatkan satu kelompok belajar yang bertempat di rumahnya pada pukul 10 pagi.
Merasa
kurang efektif dengan cara pengumpulan warga, kami melakukan pendataan warga
yang bersangkutan melalui sebuah lembaga khusus yang menangani masalah
keaksaraan. Namun ternyata data tersebut sudah tidak akurat alias sudah tidak
berlaku setelah kami menanyakaan kepada salah satu ketua RT yang rumahnya kami
tinggali selamaa KKN berlangsung. Selain itu, kami mendatangi ketua-ketua RT
lain untuk mensosialisasikan program kami. Respon yang mereka berikan sangat
baik dalam mendukung program kami. Namun tidak semua warga sependapat dengan
ketua RTnya. Ada berbagai alasan mereka untuk tidak mengikuti pembinaan yang
kami rencanakan. Adapun warga yang sangat antusias untuk mengikutinya. Bahkan
ada beberapa warga yang usianya lebih dari 60 tahun ingin mengikuti program kami.
Meskipun kami hanya menargetkan warga usia produktif (15-45 tahun), kami sangat
terbuka jika ada warga yang demikian. Pendataan warga inilah yang kami rasa
cukup sulit. Kami memerlukan hampir dua minggu untuk melakukannya sampai
pelaksanaan pembelajaran berlangsung. Selam itu pula kami merekap profil warga
belajar, menyusunan perencanaan pembelajaran, peneetapan tutor, dan sebagainya.
Setelah melewati tahapan tersebut akhirnya kami memiliki tiga tempat belajar
masing-masing kelompok belajar tingkat dasar dan tingkat lanjutan.