BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini membahas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, manfaat penulisan makalah, dan metode penulisan. Lebih jelasnya diuraikan satu persatu sebagai berikut :
A. Latar belakang
Hukum di Indonesia ada yang asli dan yang berasal dari luar (agama). Hukum yang asli pun ada yang tertulis dan yang tidak tertulis. Dalam hukum tertulis yang berlaku di Negara kita ini masih ada masalah-masalah yang belum diatur. Maka untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dapat diisi dengan hukum adat. Seperti masalah pembagian waris, transaksi tanah, dan masih banyak masalah-masalah lain.
Hukum adat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan dilakukan terus menerus oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Apabila hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai hidup suatu masyarakat, maka hukum itu akan ditinggalkan dan tidak berlaku lagi.
Setiap daerah di Indonesia memiliki hukum adat yang berbeda-beda. Agar kita tidak salah bertindak, terutama di tempat tinggal kita sendiri maka kita harus mempelajari hukum adat. Oleh karena itu, penulis akan mengkaji hukum adat yang berlaku di Kabupaten Tasikmalaya khususnya Sukahening Desa Banyuresmi Kecamatan Sukahening.
B. Rumusan masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana sejarah Kabupaten Tasikmalaya?
2. Bagaimana karakteristik masyarakat Sukahening?
3. Bagaimana susunan masyarakat di Sukahening?
4. Apa unsur-unsur hukum adat yang berlaku di Sukahening?
5. Bagaimana sistem perkawinan dan pewarisan di Sukahening?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengkaji sejarah Kabupaten Tasikmalaya dan Sukahening
2. Menganalisis karakteristik masyarakat di Sukahening
3. Menganalisis susunan masyarakat di Sukahening
4. Menganalisis unsur-unsur hukum adat yang berlaku di Sukahening
5. Menganalisis system perkawinan dan pewarisan di Sukahening
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini yaitu kita dapat memahami hukum adat yang berlaku di Kabupaten Tasikmalaya khususnya Sukahening Desa Banyuresmi Kecamatan Sukahening sehingga kita tidak salah bertindak.
E. Metode Penulisan
Penulis menggunakan metode dalam mengumpulkan beberapa bahan dan sumber untuk penyusunan laporan ini, diantaranya:
1. Melalui metode kepustakaan atau studi literature dengan mengolah serta mengumpulkan data dan keterangan yang berhubungan dengan hukum adat.
2. Melalui metode penelitian yang dilakukan dengan mewawancara tokoh.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian Hukum Adat
Dalam merumuskan definisi hukum adat mengalami kesulitan karena hukum adat masih dalam pertumbuhan, mengikuti perkembangan zaman, secara langsung selalu membawa kita ke dalam dua keadaan yang justru merupakan sifat dan pembawaan hukum adat itu, ialah tertulis atau tidak tertulis, pasti atau tidak pasti dalam sanksi, hukum raja atau hukum rakyat sebagai sumbernya.
Namun demikian, ada juga beberapa para ahli hukum adat mencoba mengemukakan definisi tentang hukum adat.
Cornelis Van Vollenhoven memberikan definisi tentang hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu adalah hukum) dan di pihak lain tidak dikodifikasikan, artinya tidak tertulis dalam bentuk kitab undang-undang yang tertentu susunannya.
B. Ter Haar Bzn mengatakan bahwa hukum adat adalah –dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja- keseluruhan aturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa sera pengaruh dan yang dalam pelaksanannya berlaku serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati.
Menurut Soekanto, hukum adat merupakan keseluruhan adat (yang tidak tertulis) yang hidup dalam masyarakat berupa keseluruhan kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.
B. Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang mengalami kehidupan yang wajar menurut kodrat alam, yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam suatu tata susunan yang teratur yang bersifat tetap dan kekal, mempunyai pemimpin dan aturan yang dipatuhinya serta memiliki kekayaan berwujud dan berdian di suatu daerah tertentu dan mempunyai ikatan batin yang kuat antar anggota dan antar anggota dengan kelompoknya.
Secara teoritis, susunan masyarakat hukum adat terbagi dua, berdasarkan keturunan (genealogis) dan berdasarkan kedaerahan (teritorial). Secara praktis, dalam masyarakat hukum adat manakala unsur-unsur genealogis lebih kuat daripada unsur-unsur teritorial maka masyarakat hukum adat itu bersifat genealogis-teritorial, dan manakala unsur territorial lebih kuat dari unsure genealogis, maka masyarakat hukum adat itu bersifat territorial-genealogis.
C. Unsur-Unsur Hukum Adat
Menurut Ranidar Darwis dalam bukunya Hukum Adat (2008), unsur hukum adat terbagi menjadi dua, asli (tertulis dan tidak tertulis) dan tidak asli. Hukum asli yang tertulis yaitu piagam-piagam, perintah-perintah raja, patokan-patokan pada daun lontar, awig-awig di Bali, dan sebagainya. Hukum asli yang tidak tertulis berdasarkan kebudayaan dan pandangan hidup masyarakat Indonesia yang memberikan pedoman kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, baik di desa maupun di kota.
D. Hukum Perkawinan Dalam Masyarakat Adat
Hukum perkawinan berkaitan dengan susunan mayarakatnya.
1. Hukum perkawinan dalam masyarakat keibuan
Masyarakat keibuan adalah suatu masyarakat hukum yang para anggotanya menarik garis keturunan melalui garis ibu (wanita). Bentuk perkawinan dalam masyarakat keibuan adalah perkawinan semendo yang bersifat eksogam atau dengan kata lain didasarkan pada prinsip eksogam. Eksogam adalah suatu system perkawinan dimana seseorang harus kawin dengan anggota clan (suku) yang lain dan tidak boleh dengan anggota se-clan. Dimana para istri menjemput calon suami dari luar clannya dan setelah mereka kawin berdomisili di tempat wanita tetapi masing-masing tetap pada clan asalnya.
2. Hukum perkawinan dalam masyarakat kebapaan
Masyarakat kebapaan adalah suatu masyarakat yang terbagi dalam clan-clan kebapaan, yang para anggotanya menarik garis keturunan dari garis ayah atau laki-laki. Bentuk perkawinannya adalah perkawinan jujur yang berarti serentak pada saat jujur dibayar si gadis masuk clan suami dan keluar dari clan asalnya.
3. Hukum perkawinan dalam masyarakat bilateral (keibu-bapaan)
Masyarakat keibubapaan yaitu masyarakat hukum dimana para anggotanya menarik garis keturunan melalui ibu dan bapak serta keluarga ibu dan keluarga bapak sama nilai dan derajatnya. Masyarakat bilateral ini dikenall dua system, yaitu berdasarkan keluarga, seperti di Jawa, Sunda, Madura, dan berdasarkan rumpun seperti di Dayak Kalimantan.
Sistem perkawinan berdasarkan keluarga disebut kawin bebas dimana orang boleh kawin dengan siapa saja sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan moral dan agama. Sedangkan system perkawinan berdasarkan rumpun disebut endogamy yang berarti mereka mengadakan perkawinan satu sama lain dari rumpun mereka sendiri untuk menjaga keamanan rumpunnya.
E. Hukum Waris Dalam Masyarakat Adat
Pembagian hukum waris dalam masyarakat adat terbagi menjadi dua, yaitu hukum waris adat dibagi-bagi(individual) dan hukum waris adat tidak bibadi-badi (kolektif). Hukum waris adat yang dibagi-bagi umumnya pada masyarakat bilateral(Sunda, Jawa, Madura). Hukum waris yang tidak dibagi-bagi juga terbagai dua, yaitu mayorat(mayorat laki-laki dan mayorat perempuan) dan kolektif (Minangkabau, Minahasa, Ambon).
F. Transaksi Tanah Dalam Masyarakat Adat
Transaksi tanah ada yang bersegi satu, hanya satu pokok saja dalam transaksi ini, seperti dalam perbuatan hukum mendirikan persekutuan hukum territorial yang dilakukan oleh sekelompok orang. Ada juga perbuatan hukum itu dilakukan oleh seseorang, seperti pembukaan tanah untuk kepentingan individu.
Transaksi tanah yang bersegi dua. Di sini perbuatan hukum itu dilakukan oleh dua pihak. Dalam transaksi tanah ini terjadi pemindahan pemilikan tanah atau terjadi pemindahan pemilikan tanah (untuk selamanya atau selama belum ditebus atau untuk beberapa jangka waktu yang ditentukan) dan harus dilakukan secara terang dan tunai di depan para pejabat yang berwenang. Pada saat ini harus dilakukan didepan PPAT (Pejabat Penbuat Akte Tanah). Zaman dahulu dilakukan di depan kepala adat atau kepala desa.
Transaksi tanah adalah sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat riil, di lapangan hukum harta kekayaan, merupakan salah satu bentuk perbuatan tunai dan tanah sebagia objeknya.
Yang termasuk transaksi tanah dimana tanah sebagai objek adalah jual mutlak, jual gadai dan jual tahunan. Disamping transaks tanah sebagai objek, juga ada transaksi tanah dimana tanah hanya tersangkut saja sepertyi sewa menyewa, transaksi bagi hasil, dan tanah sebagai jaminan atau pinjaman uang dengan tanggungan tanah.
BAB III
ANALISIS
A. Sejarah Kabupaten Tasikmalaya
Pada awalnya, nama yang menjadi cikal-bakal Tasikmalaya terdapat di daerah Sukapura. Sukapura dahulunya bernama Tawang atau Galunggung, sering juga disebut Tawang-Galunggung. Tawang berarti sawah atau tempat yang luas terbuka. Penyebutan Tasikmalaya menuncul setelah Gunung Galunggung meletus sehingga wilayah Sukapura berubah menjadi Tasik (danau, laut) dan malaya dari (ma)layah yang bermakna ngalayah (bertebaran) atau deretan pegunungan di pantai Malabar (India). Tasikmalaya mengandung arti keusik ngalayah, bermakna banyak pasir di mana-mana.
Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.
Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdiri pada tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada zaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.
Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteg yang masa hidupnya sezaman dengan Prabu Siliwangi. Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta diperkirakan sezaman dengan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi.
Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Sunan Gunung Jati sejak tahun 1528 berkeliling ke seluruh wilayah tanah Sunda untuk mengajarkan Agama Islam. Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri. Mungkin sekali Dalem Sukakerta atau Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Sukakerta yang merdeka, lepas dari Pajajaran. Tidak mustahil pula kedua penguasa itu sudah masuk Islam.
Periode selanjutnya adalah pemerintahan di Sukapura yang didahului oleh masa pergolakan di wilayah Priangan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII Masehi: Mataram, banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Wirawangsa sebagai penguasa Sukakerta kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura, dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan Agung Mataram atas jasa-jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Ibukota negeri yang awalnya di Dayeuh Tengah, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan “negara” disebut “Sukapura”. Raden Tumenggung Wirahadiningrat, regent Manonjya (masa jabatan 1875-1901), berpakaian buru.
Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814) ibukota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII ibukota dipindahkan ke Manonjaya (1832). Perpindahan ibukota ini dengan alasan untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam menghadapi Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 ibukota Sukapura dipindahkan kembali ke Tasikmalaya. Latar belakang pemindahan ini cenderung berrdasarkan alasan ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di ibukota daerah. Letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada di Galunggung.
Nama Kabupaten Sukapura pada tahun 1913 diganti namanya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai Bupatinya. Tanggal 21 Agustus 1111 Masehi dijadikan Hari Jadi Tasikmalaya berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat sebagai tanda upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang sebagai Penguasa di Galunggung.
B. Kecamatan Sukahening
Kecamatan Sukahening merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya yang berjarak 19 km dari Ibukota Tasikmalaya. Berada pada ketinggian 600 - 800 meter dpl, dengan suhu rata-rata 25 - 30 C, dan curah hujan rata-rata 1957 mm / tahun. Luas Wilayah Kecamatan Sukahening secara keseluruhan + 2.561.651 Ha. Kecamatan Sukahening ini terdiri dari tujuh Desa, yaitu Desa Banyurasa, Calingcing, Sukahening, Kiarajangkung, Kudadepa, Banyuresmi, dan Sundakerta
Sebelah utara Kecamata Sukahening berbatasan dengan Kecamatan Ciawi dan Jamanis, sebelah Selatan dengan Kecamatan Cisayong, sebelah Barat dengan Kabupaten Garut, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Rajapolah.
Penggunaan lahan di Kecamatan Sukehening ini terdiri dari sawah, darat, kolam, dan hutan Negara.
Jumlah penduduk Kecamatan Sukahening 26.113 orang terdiri dari 12.928 orang laki-laki dan 13.185 orang perempuan denagn jumlah KK 7.339 dan kepadatan penduduk: 1.601 jiwa / Km2.
C. Karakteristik Masyarakat Sukahening
Masyarakat Sukahening sebagian besar bermata pencaharian buruh tani karena kondisi tanahnya yang subur. Selain buruh tani, masyarakat Sukahening juga bermata pencaharian sebagai pedagang, jasa, pegawai negeri, dan TNI/polisi. Adapun masyarakat yang mempunyai mata pencaharian pengusaha di luar kota. Tak jarang pengusaha di luar kota itu sukses sehingga banyak pula masyarakat yang mengikuti jejak pengusaha sukses tersebut.
Adapun potensi unggulan di Kecamatan Sukahening ini, yaitu dalam bidang pertanian (tanaman pangan), peternakan (ternak kecil, ternak besar, dan ulat sutera), perikanan (ikan air tawar dan udang galah), dan pariwisata alam air panas Cikahuripan Talaga Bodas.
D. Susunan masyarakat Sukahening
Susunan masyarakat Sukahening berdasarkan faktor genealogis dimana susunan masyarakat Sukahening merasa bersatu karena satu darah atau satu keturunan. Tipe pertalian keturunan masyarakat Sukahening ini mengambil garis ibu dan bapak (bilateral) berdasarkan keluarga yang terdiri dari ibu, bapak, dan anak-anak yang belum dewasa(belum nikah). Anak-anak yang sudah dewasa (sudah nikah) akan membentuk keluarga baru pula, maka mereka tidak termasuk keluarga ibu bapaknya lagi (membentuk keluarga baru).
E. Unsur-unsur hukum adat yang berlaku di Sukahening
Unsur hukum adat yang berlaku di Sukahening adalah unsur keagamaan. Masyarakat Sukahening mayoritas beragama islam, bahkan tidak ada yang beragama selain agama islam. Sehingga banyak acara-acara perayaan yang bersifat keagamaan seperti rajaban, muludan, muharaman, samenan yang diisi dengan agenda-agenda bertema islami.
F. Sistem Perkawinan Dan Sistem Pewarisan Di Sukahening
1. Sistem perkawinan
Sistem perkawinan yang berlaku bagi masyarakat Sukahening Kabupaten Tasikmalaya adalah sistem perkawinan bebas dimana masyarakat tersebut bebas menikah dengan siapa saja asal tidak bertentangan dengan moral dan agama. Sistem perkawinan ini tidak mengadatkan, tidak menentukan keharusan dengan siapa boleh kwain dan dengan siapa tidak bolah kawin. Adapun upacara Prosesi Pernikahan sebagai berikut :
a. Seserahan, pihak laki-laki memberikan perlengkapan rumah tangga kepada pihak perempuan,
b. Penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita
c. Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan.
d. Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani surat nikah.
e. Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Saweran merupakan upacara memberi nasihat kepada kedua mempelai yang dilaksanakan setelah acara akad nikah. Berlangsung di panyaweran (di teras atau halaman).Kedua orang tua menyawer mempelai dengan diiringi kidung. Untuk menyawer, menggunakan bokor yang diisi uang logam, beras, irisan kunyit tipis, permen. Kedua Mempelai duduk berdampingan dengan dinaungi payung, seiring kidung selesai di lantunkan, isi bokor di tabur, hadirin yang menyaksikan berebut memunguti uang receh dan permen.
Melambangkan Mempelai beserta keluarga berbagi rejeki dan kebahagiaan
Melambangkan Mempelai beserta keluarga berbagi rejeki dan kebahagiaan
f. Sungkeman,
g. Resepsi pernikahan
Upacara prosesi pernikahan pada masyarakat Sukahening saat ini tidak lagi melakukan prosesi adat masyarakat Sunda pada umumnya, seperti menginjak telur, membelah buah pinang, menumbukkan alu ke dalam lumping, ngecagkeun aisan, melepaskan merpati, menarik bakakak ayam, dan sebagainya. Prosesi ini semakin hilang karena masyarakat Sukahening sudah menjadikan agama sebagai pedoman dalam hidupnya sehingga meninggalkan prosesi yang kurang masuk akal.
2. Sistem pewarisan
Sistem pewarisan pada masyarakat Sukahening adalah sistem pewarisan yang dibagi-bagi, dimana harta peninggalan si pewaris langsung dibagikan secara pribadi pemilikan kepada ahli warisnya. System pembagian yang dibagi-bagi ini harta dari pewaris langsung dibagikan pemilikannya secara pribadi kepada ahli warisnya. Harta kekayaan keluarga diperuntukkan sebagai dasar hidup msterial bagi para anggota keluarganya dalam generasi-generasi berikutnya. Sewaktu anak menjadi dewasa, meninggalkan rumah orang tuanya karena sudah menikah dan membentuk keluarga baru, mereka dibekali tanah pertanian, pekarangan dengan rumahnya, ternahk, dan sebagainya. Pewarisan tersebut sudah berlangsung sejak si pewaris masih hidup.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awalnya, nama yang menjadi cikal-bakal Tasikmalaya terdapat di daerah Sukapura. Sukapura dahulunya bernama Tawang atau Galunggung, sering juga disebut Tawang-Galunggung. Tawang berarti sawah atau tempat yang luas terbuka. Penyebutan Tasikmalaya menuncul setelah Gunung Galunggung meletus sehingga wilayah Sukapura berubah menjadi Tasik (danau, laut) dan malaya dari (ma)layah yang bermakna ngalayah (bertebaran) atau deretan pegunungan di pantai Malabar (India). Tasikmalaya mengandung arti keusik ngalayah, bermakna banyak pasir di mana-mana.
Sukahening merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya. Unsur hukum adat yang berlaku adalah unsure keagamaan dengan susunan masyarakat berdasarkan genealogis bilateral dimana para anggota masyarakatnya merasa bersatu karena satu keturunan dan menarik garis keturunan berdasarkan garis ibu dan bapak.
System perkawinan yang berlaku pada masyarakat Sukahening ini yaitu system perkawnan bebas dimana masyarakat tersebut bebas memilih calon pasangannya asal tidak bertentangan dengan agama dan moral. Hukum adat yang berlaku pada masyarakat Sukahening tidak begitu dilaksanakan karena banyak yang mengkaji agama sehingga adat yang menurutnya tidak masuk akal dan bertenangan dengan agama, mereka tinggalkan.
B. Saran
Bagi siapa saja yang ingin berkunjung ke suatu tempat harus mengetahui hukum adat yang berlaku di tempat tersebut agar kita tidak salah bertingkah dan tidak mendapat sanksi dari kesalahan itu. Dalam cakupan sempit, bagi yang akan menikah pun harus mengetahui hukum adat yang berlaku di tempat tinggal calon pasangannya seperti system perkawinan, system pewarisan, unsur yang berlaku, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Darwis, Ranidar (2008), Hukum Adat, Bandung : Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan UPI
No comments:
Post a Comment